Friday 19 December 2014

Menonton Film ‘Jokowi Adalah Kita’, Kita Berlima Saja


Menonton Film ‘Jokowi Adalah Kita’ yang tayang di bioskop kemarin (Kamis, 20 Nopember 2014), memang sengaja saya jadwalkan sejak jauh hari sebelumnya. Saya menonton film yang bercerita tentang  Presiden RI ke-7 tersebut di bioskop Hollywood XXI Kompleks Hotel kartika Chandra GatSu Jakarta Selatan. Saat menonton film ini, hanya ada lima orang termasuk saya yang ada dalam studio tersebut. Bisa dibayangkan betapa sepinya hanya berlima dalam bioskop selama sejam lebih.
1416573383750478555Film ‘Jokowi Adalah kita’ bercerita tentang perjalanan Joko Widodo sebagai gubernur sampai akhirnya terpilih sebagai presiden. Awal cerita berlatar di Taman Kota Waduk Pluit sebagai tempat senam, berfoto, dan wisata taman dari anak kecil sampai orang tua yang menggunakan kursi roda. Ya, memang film ini menceritakan tentang terobosan-terobosan serta metode ‘blusukan’ yang dilakukan oleh Jokowi untuk membenahi waduk pluit dan pasar Tanah Abang serta masalah multi-sektoral di Provinsi DKI Jakarta. Selain bercerita tentang tugasnya sebagai gubernur, diceritakan juga tentang keharmonisan keluarga Jokowi bersama istrinya Ibu Iriana, tiga orang anaknya, serta ibu kandung beliau. Beberapa plot cerita juga menampilkan pola komunikasi antara Jokowi dan Ahok yang dalam film tersebut tampil dengan gaya yang berapi-api.
Hari ini saya membaca beberapa portal berita yang mengabarkan bahwa penayangan film ini dihentikan sementara oleh produsernya.  Memang menurut saya moment tayang film ini sangat tidak tepat. Film ini ditayangkan saat kondisi politik negara tidak dalam keadaan yang kondusif. Di mana kebijakan pemerintah dibawah pimpinan bapak Joko Widodo yang menaikkan harga BBM per-tanggal 18 Nopember 2014 masih menuia kecaman dari masyarakat Indonesia. Demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM masih terjadi sampai saat ini.
Bisa jadi juga pembacaan produser film tersebut sebagai media pencitraan. Mungkin saja mereka menganggap bahwa dengan ditayangkannya film ini minimal mampu meredakan rasa kecewa masyarakat atas keputusan Presiden untuk menaikkan harga BBM. Jika memang hal tersebut benar, maka pembacaan tersebut merupakan pembacaan yang meleset. Terbukti saat menonton film Jokowi Adalah Kita, Kita hanya berlima.

Gubernur Ahok dan Penduduk DKI Jakarta yang Pancasilais


DKI Jakarta yang merupakan provinsi ibu kota negara dan sebagai miniatur Indonesia menjadi daya tarik yang sangat besar untuk menjadi informasi multi-sektoral bagi masyarakat yang bukan hanya penduduk DKI Jakarta tapi juga Indonesia pada umumnya. Jabatan Gubernur DKI Jakarta tentunya mengikut sebagai jabatan yang seksi bagi seluruh rakyat negeri ini. Terbukti, bapak Joko Widodo (Presiden RI ke-7) yang saat itu masih menjabat sebagai walikota Solo di dampingi bapak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang saat itu juga menjabat sebagai Anggota DPR RI periode 2009-2014 yang akhirnya berhasil meraih suara terbanyak untuk menduduki kursi gubernur dan wakil gubernur setelah  mengalahkan incumbent pada putaran ke-dua. Ikut juga kontestasi pilgub pada saat itu, bapak Alex Noerdin yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Bapak Hidayat Nur Wahid yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua MPR RI periode 2004-2009 juga mencatatkan nama beliau sebagai calon gubernur yang membuktikan betapa ‘tugas’ menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadi idaman para politikus.
Setahun Jokowi-Ahok memimpin DKI Jakarta dengan berbagai tugas yang belum selesai, (meskipun beberapa terobosan telah berhasil diselesaikan yang diantaranya Relokasi warga waduk pluit, transparansi APBD yang dapat diakses semua orang melalui situs resmi pemprov, dimulainya proyek MRT serta penambahan Bus Trans Jakarta, serta beberapa solusi untuk menyelesaikan masalah besar provinsi ini) Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden dan memenangkan perhelatan ini didampingi bapak Jusuf Kalla sebagai wakil Presiden. Nah, pemilih DKI Jakarta pada saat Pilpres 2014 dengan bayang-bayang bahwa jika Joko Widodo menjadi Presiden maka  Ahok menjadi Gubernur pengganti. Tercatat pemilih DKI Jakarta lebih banyak memilih Jokowi-JK dengan selisih 300.000 lebih dari pasangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014. Saya berpikir bahwa hal ini sudah cukup memberi bukti bahwa Jokowi-Ahok  memberikan kesan positif di masa pemerintahannya selama 1 tahun dan memberi bukti bahwa penduduk DKI Jakarta siap jika selanjutnya dipimpin oleh Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sesuai agenda DPRD Jakarta setelah melaksanakan Rapat Pimpinan (Rapim), hari ini (14 Nopember 2014) bapak Basuki Tjahaja Purnama yang kita kenal dengan pak Ahok  diumumkan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pak Ahok yang saat ini masih menjabat sebagai Plt Gubernur sejak  pengunduran diri bapak Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah banyak mendapatkan goncangan. Tapi sebaiknya kita harus kembali berpikir bahwa jabatan Gubernur DKI Jakarta merupakan jabatan yang seksi untuk diguncang sebagaimana yang saya paparkan di atas.

Ayah, Maafkan Aku Telah Bersetubuh dengan Martini


1415881744977923532
Masih terbayang air muka dan ekspresi ayahku saat mulai tahu kalau aku, anaknya ini mulai merokok saat masih duduk di bangku kuliah. Tentunya dengan raut wajah yang sedih. Entahlah sedihnya karena beliau tahu merokok itu tidak baik untuk kesehatan anaknya, ataukah sedih karena biaya hidup yang beliau kirimkan kepada anaknya ini sebagian disisihkan untuk membeli rokok. Tapi aku yakin salah-satu di antaranya benar.
Ayahku bukanlah seorang ustadz, tapi aku tahu beliau adalah muslim yang taat. Shalat subuh dan maghribnya beliau habiskan di masjid. Beliau tahu dengan pasti, mana perbuatan benar dan mana perbuatan salah. Saat masih menjadi mahasiswa dan tahu kalau aku merokok, beliau hanya menyarankan untuk berhenti merokok. Tapi setelah aku bekerja dan punya penghasilan sendiri, ayahku mengatakan kepadaku untuk mengurangi mengisap rokok, menjauhi zina, tidak mengkonsumsi narkoba, dan tidak meminum minuman keras.
Hari ini aku ingin membuat pengakuan, pengakuan tentang hal yang kulanggar dari apa yang ayahku tidak inginkan. Aku telah bersetubuh dengan Martini.
Beberapa waktu yang lalu aku menunjungi sebuah kafe di daerah Menteng. Dari luar kafe saya disuguhkan dengan keindahan taman yang tertata dengan kesan Eropa. Memang nama kafe itu diambil dari salah satu tempat di benua Eropa. Setelah aku masuk ke dalam kafe tersebut, suasana menjadi sangat berubah. Ruangan yang  luas dan dipenuhi lampu tapi tetap saja terlihat gelap. Aku duduk di salah satu pojok dari ruangan itu. Tak lama duduk, aku didatangi oleh salah satu waitress untuk diberi daftar menu. Tak cukup lama memperhatikan daftar menu yang seabrek, aku memesan secangkir kopi dengan nama yang aneh. Karena anehnya, aku sudah lupa nama kopi tersebut. Sebelum beranjak, waitress yang tadi berbisik bahwa menu kopi jenis ini  dicampurkan dengan Martini. Saat itu, aku menebak-nebak dalam hati  bahwa Martini adalah jenis rempah-rempah. Mungkin saja rasanya pedas sehingga sebelumnya waitress tersebut menginformasikan terlebih dahulu. Tapi rasa penasaranku lebih besar dari sekedar keingintahuanku terlebih dahulu saat itu.
Aku menyeruput kopi tersebut sambil mendengarkan lagu jazz yang belum pernah aku dengan sebelumnya. Tidak berselang lama, aku merasa ada yang lain dengan pandanganku. Aku tak bisa menjelaskan kapan letak kepalaku belum pusing dan sudah pusing. Ada perasaan ngantuk yang tiba-tiba datang.  Tidak menghabiskan secangkir kopi tersebut, aku segera beranjak. Aku khawatir tertidur di kafe tersebut dan membayar tax yang terlalu banyak.
Se-sampai di rumah, aku mencari tahu Martini lewat internet. Betapa kagetnya aku setelah tahu kalau Martini adalah salah-satu jenis minuman beralkohol yang memabukkan. Aku merasa berdosa, dalam tubuhku mengalir minuman yang diharamkan dalam agamaku. Aku kemudian tertunduk lalu mengingat pesan dari ayahku. Dalam hatiku kemudian aku berkata “Ayah, maafkan aku telah bersetubuh dengan Martini”.
Sumber Gambar : http://baby-sharyn.deviantart.com/art/The-Martini-Fairy-5566229

Wednesday 17 September 2014

Rahasia Singkat Master Billiard



“Sumpah Mbak, saya tidak dilahirkan di meja Billiard!” Demikian saya katakan pada seorang wanita, sebut saja namanya  Mawar (disamarkan dari nama aslinya, Vany) salah-satu Ladies di Afterhour Billiard Poins Square Lebak bulus, beberapa waktu yang lalu. Saya mengatakan hal tersebut setelah permainan saya dipuji oleh wanita yang luar biasa cantiknya (TAPI juga luar biasa seksinya) tersebut. Yang saya ingin jelaskan saat itu adalah, untuk menjadi hebat bermain Billiard tidak mesti harus lahir di meja Billiard. Ahh, bukan itu. Tapi, “Siapa yang berminat (bermain Billiard), dia yang berbakat (bermain Billiard). Maksudnya, siapapun bisa menjadi hebat saat ia punya keinginan. Saya yakin tidak ada orang yang berbakat (dalam hal bermain Billiard) bahkan mereka yang ‘brojol’ di meja Billiard sekalipun.  

Saya yang dulunya hanya sedikit hebat bermain karambol, sering terkagum-kagum saat menyaksikan pertandingan para master di tivi-tivi. Tapi setelah memulai mengenal, memegang, mengusap-usap Cue (stick)  bola sodok tersebut, saya mulai merasa konfidens. Dan saat itulah saya sadar bahwa, siapapun bisa menjadi hebat dalam bermain Billiard. Tinggal selanjutnya, bagaimana mereka mampu untuk focus, konsentrasi, menganalisa, targeting, me-reposisi, memproyeksi, dan mengkalkulasi, serta mengintegrasi. Secara personal, Saya telah melewati proses tahap selanjutnya tersebut. Pada saat saya bermain kemudian diberi pujian tersebut di atas, saya memenag tidak lagi bermain dengan focus pada bola-bola milik saya (pada jenis permainan 8-Ball) atau deretan angka selanjutnya setelah memasukkan salah-satu bola ber-angka kecil (ada jenis permainan 9-Ball). Yang menjadi focus selanjutnya adalah, di mana posisi bola putih setelah saya memasukkan bola yang menjadi target. Serta bagaimana mengembangkan kemampuan dengan mengintegrasikan bola satu dengan bola lainnya. Misalnya pada saat saya menyodok bola putih ke arah bola 1 kemudian bola 1 tersebut mengarah ke bola 2 dan memantul kemudian on pocket (masuk di lubang). Begitu pula dengan bola 1 tadi. Tangens line bola putih tadi sejajar dengan bola 3 dan pocket sehingga memudahkan untuk pukulan selanjutnya. Duuh, paham engga sih? Belajar dulu deh! Yah! 

Nah, dari situlah saya mulai paham, jauh di dalam permainan Billiard itu ternyata menyimpan rahasia beberapa frame dalam tools-tools analisa dan manajemen. Sebutlah misalnya tentang penempatan bola putih yang saya maksudkan tadi ketika hal tersebut diproyeksikan pada manajemen Sumber Daya Manusia di sebuah lembaga atau perusahaan. Sebaiknya saya tidak usah mengulas lebih dalam, karena saya yakin akan sulit dipahami ketika kemampuan/keterampilan bermain Billiard kita punya jarak yang terlalu rentang. Tapi saya yakin bahwa prinsip dasarnya sudah bisa ditemukan di ulasan singkat ini. 

Jakarta, 17 September 2014

Friday 25 July 2014

Menjahit, Merajut sisi Keanggunan Wanita

Kemarin saya berkenalan dengan seorang wanita kalem yang tidak begitu cantik. Tapi lumayan tidak memalukanlah untuk mengakuinya sebagai istri saat arisan, reuni, gathering dan pertemuan keluarga. Karena sebegitu kalemnya, bibir saya refleks untuk menyebutnya dengan panggilan 'Ukhti'. Usianya saat ini 22 tahun, pendidikan terakhirnya sampai di SMK. Saat ini ia hanya di rumah membantu ibunya melakukan pekerjaan kodrati sebagai seorang perempuan. Saya sempat menanyakan mengapa ia tidak ingin melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Saat itu ia menjawab bahwa sebagai anak perempuan bungsu, ia tidak pernah hidup jauh dari kampung halaman dan jauh dari orang tuanya. Lagian orang-tuanya sekarang sudah cukup tua untuk terbaktikan oleh anaknya, anak bungsunya. Di rumah, ia tinggal berempat bersama kedua orang tuanya dan satu kakak laki-lakinya yang masih bujang dan telah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Ia punya dua kakak wanita lagi yang sudah berkeluarga dan masing-masing telah mempunyai anak. Keduanya juga saat ini berdomisili di Kuala Lumpur. Setelah saya tahu bahwa kedua kakaknya dulu berkuliah, saya mencoba bertanya dengan sedikit justifikasi mengapa ia tidak ikut berkuliah layaknya kakaknya yang bisa meninggalkan orang tuanya untuk mengenyam pendidikan selanjutnya sekaligus menghilangkan sifat dan perasaan manjanya. Tapi ternyata tidak sesederhana itu, ia justru berpikir bahwa sudah cukup baginya mengenyam pendidikan formal untuk  berbakti kepada orang-tuanya dengan cara tidak meninggalkannya di masa tuanya. Ia justru sedikit menasehati bahwa seperti itulah seharusnya seorang anak bungsu yang di usia dewasanya harus menikmati hidup dengan orang tuanya yang sudah lanjut usia. "...dan Akhi, tak mestilah pengetahOan didapatkan kerana bangku kuliah, ya kan?" Tanyanya yang tidak saya jawab.

Yang membuat saya terkesan pada wanita ini pada saat saya menanyakan kesehariannya yang hanya tinggal di rumah. Katanya selain membantu ibunya di dapur, ia juga punya keterampilan yang bagi saya sudah langka di tengah fenomena alay dan cabe-cabean, menjahit. Sebelumnya saya sempat beberapa kali nge-twit  bahwa saya melihat ada sisi keanggunan wanita saat ia sedang menjahit. Menjahit bagi saya adalah bentuk perlawanan terhadap sikap kemanjaan, ketidak-telitian, ketidak-sabaran dan sebagainya yang negatif dimiliki oleh seorang perempuan.

Seperti halnya korespondensi yang menjadi hobbi yang langka karena teknologi telekomunikasi yang semakin lama semakin aneh saja, kelangkaan wanita yang gemar menjahit juga semakin tereduksi oleh perkembangan mesin industri garmen. Betapa tidak? Kemeja, Jaket, Kaos, Celana dan seragam sudah dibuat secara mandiri oleh mesin. Hanya memasang benangnya saja, kemudian dieksekusi dan dikontrol melalui layar komputer saja. Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana jika suatu saat kancing baju saya tertanggal misalnya? Celana saya sobek di sela-sela selangkangan? Jahitan saku baju saya terlepas? Atau saya ingin merampingkan (slimming) kemeja saya agar terlihat Junkies?

Jika saya melihat seorang wanita sedang menjahit, saat itu pula saya melihat seorang wanita yang anggun. Sebenarnya "menjahit" bukan standar sederhana untuk menilai keanggunan wanita oleh seorang laki-laki. Menjahit itu tentang ketegasan membuat pola, kemudian mengguntingnya. Dari sini si penjahit dituntut untuk teliti, tegas menarik garis saat membuat pola, sabar dalam menggunting. Salah pola dan salah gunting, hasilnya akan berbeda. Penjahit itu tegas, penyabar, tekun, dan ulet dan yang pasti tidak suka bergosip dengan tetangga. Apa ada yang berpikir, bagaimana jadinya  OL shop tanpa seorang penjahit?.  Kalaupun tidak dijadikan sebagai mata pencaharian, tetaplah menjahit untuk menjadi wanita Anggun.

***

Sangat terkesan dengan wanita anggun itu, saya kemudian menanyakan sesuatu yang lebih privasi via pesan facebook.

*Terima Kasih untuk Ukhti (sebut saja namanya Mawar) Gadis Sabah Malaysia yang telah menginspirasi.

Pinrang, 24 April 2014


ZAM


Sunday 6 July 2014

ZAM bersama Romantika, Dinamika & Dialektika Logat Jakarta

Satu bulan lebih berdomisili,  yang bagi orang adaptatif terhadap dunia linguistik tentunya sudah tidak memalukan untuk sekedar ber-aksen layaknya orang ibu kota Jakarta pada umumnya.Tapi sungguh, bagi saya satu bulan itu ternyata tidak cukup. Satu bulan tetap saja membuat saya menjadi salah satu orang yang berdomisili di Jakarta yang masuk dalam kategori 'Pendiam' meskipun pada dasarnya saya adalah orang yang cerewet, nyaring dan sering sok tahu. Dan dengan konteks ini, saya menyatakan bahwa lirik lagu Art 2 Tonic yang judulnya Makassar Bisa Tonji dengan potongan liriknya seperti ini : Tujuh hari yang lalu berangkat ke Jakarte. Seminggu ki disana, pulangnya logat tong mi, merupakan kondisi yang keterlaluan. Kenapa keterlaluan? Karena satu bulan saja masih sulit apa lagi kalau hanya dalam jangka seminggu.

Setelah saya pikir-pikir, hal ini disebabkan karena lekukan lidah saya sudah khas Sulawesi. Selain itu,  kekhawatiran adanya penyakit baru yang tidak menular bernama Lidah Terlipat atau intusseption Tongue (tidak akan anda dapatkan di search-enginee karena hanya istilah saya saja) yang akan saya derita kalau saja saya memaksakan diri untuk berlogat dengan cara yang sejujurnya akal saya sendiri masih begitu asing untuk mencernanya, serta satu jurus paling jitu untuk bersahabat dengan sesuatu yang asing ini dengan cara MENJADI PENDIAM. Pada kondisi yang lain saya menjadi pribadi yang Cool. Pendiam juga, tapi pendiam yang dingin (let's imagine!). Hal tersebut yang membuat saya menjadi lamban tangkap untuk berbicara seperti mereka.

Ada beberapa situasi yang saat saya mengingat-ingatnya kembali, saya sendiri merasa tergelitik. Di awal kedatangan saya disibukkan dengan 'mimpi nonton sinetron'. Saya masih begitu belum terbiasanya dengan logat Jakarta, tetap bangun telat meskipun pagi buta di tempat saya menginap saat itu sudah riuh dengan moment anak usia sekolah mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Karena belum terbiasa, "MAAA, KAK TIO BAKALAN JEMPUT GA'?", "MAA, AKU BELUM NYIAPIN PAKAIAN EX-SCHOOL KU!", "MA, BESOK AKU BAWA BEKAL APA LAGI? kemudian mamanya menjawab "AADDAAA AJA!" (kalau yang ini iklan), kalimat tersebut terolah apik dalam ruang mimpi saya menjadi 'mimpi nonton sinetron' yang berjudul : Buku Harian Baim.

Nah... di kantor, saya harus menyerap maksud pesan saat orang bertanya, Kemudian saya ramu beberapa kata dulu lalu menghafalnya dalam hati kemudian baru mengucapkannya. Tidak akan mungkin saat-saat ini saya bertanya banyak. Saya hanya bertanya seadanya saja, dan menjawab se-kenanya saja. Inilah yang membuat saya yakin orang-orang kantor akan menilai saya dengan seorang yang Pendiam. Tapi, huh... belum tau dia.

Karena tidak memiliki dan belum mendapatkan fasilitas kendaraan dari kantor, ke mana-mana saya harus menggunakan metromini atau angkot. Khawatir kesasar dan salah jurusan (salah naik angkutan), saya harus selalu menunggu angkot yang kursi di belakang supirnya masih kosong. Kalau sudah terisi, saya menunggu angkot yang lain. Ini tips agar saya bisa berbisik pada supir untuk bertanya nomor angkot selanjutnya, atau dengan menanyakan di mana saya harus turun untuk naik di angkutan nomor sekian. Saya berpikir lebih baik bertanya pada supir angkot dari pada bertanya di pinggir jalan kalau saya tahu saya sudah dalam keadaan tersesat. Oh iya, ada pepatah yang mengatakan "Malu bertanya sesat di jalan". Saya ingin menambahkan satu frase lagi, "Malu bertanya sesat di jalan, berani bertanya lidah terlipat".

Untuk makan sehari-hari, saya bukanlah penikmat kuliner dengan keliling restoran. Selain jarak rumah dan restoran yang harus naik angkot (dan ada kemungkinan salah jurusan), saya memang tidak begitu terbiasa dengan menu-menu aneh. Selain dua alasan tersebut, sangat ditopang juga dengan kondisi ekonomi. Jadi lengkap sudah. Warteg, mau tak mau inilah solusinya. Di warteg yang jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah memang rasanya seperti makanan-makanan rumahan. Awal saya makan di warteg tersebut, tentunya saya bingung dengan puluhan lauk-pauk dan puluhan jenis sayuran yang dipajang dalam etalase kaca. Tapi bingung kali ini bukanlah bingung memilih, melainkan bingung menyebutkan nama-nama lauk dan sayur. Dalam kondisi seperti ini, keluarlah secara alamiah saya yang tampil COOL (tampil cool di warteg, oke sip). Tapi syukurlah, beberapa hari sejak saya di sini. Saya akhirnya hafal kalau telur itu disebut dengan telor, Oseng tempe disebut tempe orek, Sayur paria disebut sayur pare. Dan alhamdulillah karena saya tidak suka ditanya-tanya (khawatir salah ucap), Menu sehari-hari saya sampai sebelum bulan ramadhan ini yaitu Nasi satu, telor dadar, Sayur pare. Kadang telor dadar diganti dengan tempe orek.

Sejujurnya, saya tidak ingin mengubah dialek saya untuk mengikuti logat orang-orang di sini. Saya hanya butuh beberapa waktu lagi untuk muncul sebagai orang Sulawesi yang berbaur dengan mereka. Saya datang tidak untuk menaklukkan Jakarta, tapi datang untuk bersahabat dengannya. Saya berharap juga mendapatkan jodoh di sini, karena Leona Agustine juga belum mendapatkan jodohnya.

Sunday 25 May 2014

Otak-ku, Organ Sosial

Betapa tidak kontekstual kondisi saat ini, Saya sedang berada di Rusia untuk pertama kalinya. Baru berkisar satu minggu saya mengeluarkan otak saya dari freezer dengan suhu -18 derajat Celcius. Mengambilnya, darah di telapak tangan saya seperti ikut membeku. Padahal hanya beberapa detik saja. Hidung saya banyak mengeluarkan lendir bening. Akh, saya tidak sedang ingin membahas tentang hidung dan tangan. Saya mau fokus pada otak saja, yah otak saya saja. Bagaimana dengan darah? Ohh, iya Otak saya dan darah saya juga sedikit nantinya.
Saya ingin memanaskan otak saya. Saya korek kantong untuk mencari korek api, tidak menggunakan yang di atas. Hmmm, saya menggunakan alat bantu penjepit. Untuk menjepit saya menggunakan gigi (syukurlah). Dan saya tidak terlalu bodoh untuk memantik korek api dengan menggunakan kaki. Kaki dan gigi. Penjepit saya lepas dulu tentunya. Melepasnya, tidak menggunakan kaki. Korek api susah menyala. Jelas, karena memantiknya menggunakan kaki dan gigi. Saya sempat berpikir untuk menggunakan yang di atas, tapi saya harus belajar konsisten. Dan harus dimulai dari sini, sekarang. Tapi kalau begini, kapan otak saya mulai saya panaskan? Tunggu sampai musim panas? Saya tidak bisa jawab, otak saya sedang membeku. Aduuuuuhh.......

Sumber Gambar : anthonieyahya.blogspot.com