Friday 25 July 2014

Menjahit, Merajut sisi Keanggunan Wanita

Kemarin saya berkenalan dengan seorang wanita kalem yang tidak begitu cantik. Tapi lumayan tidak memalukanlah untuk mengakuinya sebagai istri saat arisan, reuni, gathering dan pertemuan keluarga. Karena sebegitu kalemnya, bibir saya refleks untuk menyebutnya dengan panggilan 'Ukhti'. Usianya saat ini 22 tahun, pendidikan terakhirnya sampai di SMK. Saat ini ia hanya di rumah membantu ibunya melakukan pekerjaan kodrati sebagai seorang perempuan. Saya sempat menanyakan mengapa ia tidak ingin melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Saat itu ia menjawab bahwa sebagai anak perempuan bungsu, ia tidak pernah hidup jauh dari kampung halaman dan jauh dari orang tuanya. Lagian orang-tuanya sekarang sudah cukup tua untuk terbaktikan oleh anaknya, anak bungsunya. Di rumah, ia tinggal berempat bersama kedua orang tuanya dan satu kakak laki-lakinya yang masih bujang dan telah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Ia punya dua kakak wanita lagi yang sudah berkeluarga dan masing-masing telah mempunyai anak. Keduanya juga saat ini berdomisili di Kuala Lumpur. Setelah saya tahu bahwa kedua kakaknya dulu berkuliah, saya mencoba bertanya dengan sedikit justifikasi mengapa ia tidak ikut berkuliah layaknya kakaknya yang bisa meninggalkan orang tuanya untuk mengenyam pendidikan selanjutnya sekaligus menghilangkan sifat dan perasaan manjanya. Tapi ternyata tidak sesederhana itu, ia justru berpikir bahwa sudah cukup baginya mengenyam pendidikan formal untuk  berbakti kepada orang-tuanya dengan cara tidak meninggalkannya di masa tuanya. Ia justru sedikit menasehati bahwa seperti itulah seharusnya seorang anak bungsu yang di usia dewasanya harus menikmati hidup dengan orang tuanya yang sudah lanjut usia. "...dan Akhi, tak mestilah pengetahOan didapatkan kerana bangku kuliah, ya kan?" Tanyanya yang tidak saya jawab.

Yang membuat saya terkesan pada wanita ini pada saat saya menanyakan kesehariannya yang hanya tinggal di rumah. Katanya selain membantu ibunya di dapur, ia juga punya keterampilan yang bagi saya sudah langka di tengah fenomena alay dan cabe-cabean, menjahit. Sebelumnya saya sempat beberapa kali nge-twit  bahwa saya melihat ada sisi keanggunan wanita saat ia sedang menjahit. Menjahit bagi saya adalah bentuk perlawanan terhadap sikap kemanjaan, ketidak-telitian, ketidak-sabaran dan sebagainya yang negatif dimiliki oleh seorang perempuan.

Seperti halnya korespondensi yang menjadi hobbi yang langka karena teknologi telekomunikasi yang semakin lama semakin aneh saja, kelangkaan wanita yang gemar menjahit juga semakin tereduksi oleh perkembangan mesin industri garmen. Betapa tidak? Kemeja, Jaket, Kaos, Celana dan seragam sudah dibuat secara mandiri oleh mesin. Hanya memasang benangnya saja, kemudian dieksekusi dan dikontrol melalui layar komputer saja. Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana jika suatu saat kancing baju saya tertanggal misalnya? Celana saya sobek di sela-sela selangkangan? Jahitan saku baju saya terlepas? Atau saya ingin merampingkan (slimming) kemeja saya agar terlihat Junkies?

Jika saya melihat seorang wanita sedang menjahit, saat itu pula saya melihat seorang wanita yang anggun. Sebenarnya "menjahit" bukan standar sederhana untuk menilai keanggunan wanita oleh seorang laki-laki. Menjahit itu tentang ketegasan membuat pola, kemudian mengguntingnya. Dari sini si penjahit dituntut untuk teliti, tegas menarik garis saat membuat pola, sabar dalam menggunting. Salah pola dan salah gunting, hasilnya akan berbeda. Penjahit itu tegas, penyabar, tekun, dan ulet dan yang pasti tidak suka bergosip dengan tetangga. Apa ada yang berpikir, bagaimana jadinya  OL shop tanpa seorang penjahit?.  Kalaupun tidak dijadikan sebagai mata pencaharian, tetaplah menjahit untuk menjadi wanita Anggun.

***

Sangat terkesan dengan wanita anggun itu, saya kemudian menanyakan sesuatu yang lebih privasi via pesan facebook.

*Terima Kasih untuk Ukhti (sebut saja namanya Mawar) Gadis Sabah Malaysia yang telah menginspirasi.

Pinrang, 24 April 2014


ZAM


No comments:

Post a Comment