Kemarin saya berkenalan dengan seorang wanita kalem yang tidak begitu
cantik. Tapi lumayan tidak memalukanlah untuk mengakuinya sebagai istri
saat arisan, reuni, gathering dan pertemuan keluarga. Karena sebegitu
kalemnya, bibir saya refleks untuk menyebutnya dengan panggilan 'Ukhti'.
Usianya saat ini 22 tahun, pendidikan terakhirnya sampai di SMK. Saat
ini ia hanya di rumah membantu ibunya melakukan pekerjaan kodrati
sebagai seorang perempuan. Saya sempat menanyakan mengapa ia tidak ingin
melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Saat itu ia menjawab bahwa
sebagai anak perempuan bungsu, ia tidak pernah hidup jauh dari kampung
halaman dan jauh dari orang tuanya. Lagian orang-tuanya sekarang sudah
cukup tua untuk terbaktikan oleh anaknya, anak bungsunya. Di rumah, ia
tinggal berempat bersama kedua orang tuanya dan satu kakak laki-lakinya
yang masih bujang dan telah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Ia
punya dua kakak wanita lagi yang sudah berkeluarga dan masing-masing
telah mempunyai anak. Keduanya juga saat ini berdomisili di Kuala
Lumpur. Setelah saya tahu bahwa kedua kakaknya dulu berkuliah, saya
mencoba bertanya dengan sedikit justifikasi mengapa ia tidak ikut
berkuliah layaknya kakaknya yang bisa meninggalkan orang tuanya untuk
mengenyam pendidikan selanjutnya sekaligus menghilangkan sifat dan
perasaan manjanya. Tapi ternyata tidak sesederhana itu, ia justru
berpikir bahwa sudah cukup baginya mengenyam pendidikan formal untuk
berbakti kepada orang-tuanya dengan cara tidak meninggalkannya di masa
tuanya. Ia justru sedikit menasehati bahwa seperti itulah seharusnya
seorang anak bungsu yang di usia dewasanya harus menikmati hidup dengan
orang tuanya yang sudah lanjut usia. "...dan Akhi, tak mestilah
pengetahOan didapatkan kerana bangku kuliah, ya kan?" Tanyanya yang
tidak saya jawab.
Yang
membuat saya terkesan pada wanita ini pada saat saya menanyakan
kesehariannya yang hanya tinggal di rumah. Katanya selain membantu
ibunya di dapur, ia juga punya keterampilan yang bagi saya sudah langka
di tengah fenomena alay dan cabe-cabean, menjahit. Sebelumnya saya
sempat beberapa kali nge-twit bahwa saya melihat ada sisi
keanggunan wanita saat ia sedang menjahit. Menjahit bagi saya adalah
bentuk perlawanan terhadap sikap kemanjaan, ketidak-telitian,
ketidak-sabaran dan sebagainya yang negatif dimiliki oleh seorang
perempuan.
Seperti halnya korespondensi yang
menjadi hobbi yang langka karena teknologi telekomunikasi yang semakin
lama semakin aneh saja, kelangkaan wanita yang gemar menjahit juga
semakin tereduksi oleh perkembangan mesin industri garmen. Betapa tidak?
Kemeja, Jaket, Kaos, Celana dan seragam sudah dibuat secara mandiri
oleh mesin. Hanya memasang benangnya saja, kemudian dieksekusi dan
dikontrol melalui layar komputer saja. Tapi pertanyaannya adalah,
bagaimana jika suatu saat kancing baju saya tertanggal misalnya? Celana
saya sobek di sela-sela selangkangan? Jahitan saku baju saya terlepas?
Atau saya ingin merampingkan (slimming) kemeja saya agar terlihat Junkies?
Jika
saya melihat seorang wanita sedang menjahit, saat itu pula saya melihat
seorang wanita yang anggun. Sebenarnya "menjahit" bukan standar
sederhana untuk menilai keanggunan wanita oleh seorang laki-laki.
Menjahit itu tentang ketegasan membuat pola, kemudian mengguntingnya.
Dari sini si penjahit dituntut untuk teliti, tegas menarik garis saat
membuat pola, sabar dalam menggunting. Salah pola dan salah gunting,
hasilnya akan berbeda. Penjahit itu tegas, penyabar, tekun, dan ulet dan
yang pasti tidak suka bergosip dengan tetangga. Apa ada yang berpikir,
bagaimana jadinya OL shop tanpa seorang penjahit?. Kalaupun tidak
dijadikan sebagai mata pencaharian, tetaplah menjahit untuk menjadi
wanita Anggun.
***
Sangat terkesan dengan wanita anggun itu, saya kemudian menanyakan sesuatu yang lebih privasi via pesan facebook.
*Terima Kasih untuk Ukhti (sebut saja namanya Mawar) Gadis Sabah Malaysia yang telah menginspirasi.
Pinrang, 24 April 2014
ZAM
No comments:
Post a Comment