Sunday 6 July 2014

ZAM bersama Romantika, Dinamika & Dialektika Logat Jakarta

Satu bulan lebih berdomisili,  yang bagi orang adaptatif terhadap dunia linguistik tentunya sudah tidak memalukan untuk sekedar ber-aksen layaknya orang ibu kota Jakarta pada umumnya.Tapi sungguh, bagi saya satu bulan itu ternyata tidak cukup. Satu bulan tetap saja membuat saya menjadi salah satu orang yang berdomisili di Jakarta yang masuk dalam kategori 'Pendiam' meskipun pada dasarnya saya adalah orang yang cerewet, nyaring dan sering sok tahu. Dan dengan konteks ini, saya menyatakan bahwa lirik lagu Art 2 Tonic yang judulnya Makassar Bisa Tonji dengan potongan liriknya seperti ini : Tujuh hari yang lalu berangkat ke Jakarte. Seminggu ki disana, pulangnya logat tong mi, merupakan kondisi yang keterlaluan. Kenapa keterlaluan? Karena satu bulan saja masih sulit apa lagi kalau hanya dalam jangka seminggu.

Setelah saya pikir-pikir, hal ini disebabkan karena lekukan lidah saya sudah khas Sulawesi. Selain itu,  kekhawatiran adanya penyakit baru yang tidak menular bernama Lidah Terlipat atau intusseption Tongue (tidak akan anda dapatkan di search-enginee karena hanya istilah saya saja) yang akan saya derita kalau saja saya memaksakan diri untuk berlogat dengan cara yang sejujurnya akal saya sendiri masih begitu asing untuk mencernanya, serta satu jurus paling jitu untuk bersahabat dengan sesuatu yang asing ini dengan cara MENJADI PENDIAM. Pada kondisi yang lain saya menjadi pribadi yang Cool. Pendiam juga, tapi pendiam yang dingin (let's imagine!). Hal tersebut yang membuat saya menjadi lamban tangkap untuk berbicara seperti mereka.

Ada beberapa situasi yang saat saya mengingat-ingatnya kembali, saya sendiri merasa tergelitik. Di awal kedatangan saya disibukkan dengan 'mimpi nonton sinetron'. Saya masih begitu belum terbiasanya dengan logat Jakarta, tetap bangun telat meskipun pagi buta di tempat saya menginap saat itu sudah riuh dengan moment anak usia sekolah mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Karena belum terbiasa, "MAAA, KAK TIO BAKALAN JEMPUT GA'?", "MAA, AKU BELUM NYIAPIN PAKAIAN EX-SCHOOL KU!", "MA, BESOK AKU BAWA BEKAL APA LAGI? kemudian mamanya menjawab "AADDAAA AJA!" (kalau yang ini iklan), kalimat tersebut terolah apik dalam ruang mimpi saya menjadi 'mimpi nonton sinetron' yang berjudul : Buku Harian Baim.

Nah... di kantor, saya harus menyerap maksud pesan saat orang bertanya, Kemudian saya ramu beberapa kata dulu lalu menghafalnya dalam hati kemudian baru mengucapkannya. Tidak akan mungkin saat-saat ini saya bertanya banyak. Saya hanya bertanya seadanya saja, dan menjawab se-kenanya saja. Inilah yang membuat saya yakin orang-orang kantor akan menilai saya dengan seorang yang Pendiam. Tapi, huh... belum tau dia.

Karena tidak memiliki dan belum mendapatkan fasilitas kendaraan dari kantor, ke mana-mana saya harus menggunakan metromini atau angkot. Khawatir kesasar dan salah jurusan (salah naik angkutan), saya harus selalu menunggu angkot yang kursi di belakang supirnya masih kosong. Kalau sudah terisi, saya menunggu angkot yang lain. Ini tips agar saya bisa berbisik pada supir untuk bertanya nomor angkot selanjutnya, atau dengan menanyakan di mana saya harus turun untuk naik di angkutan nomor sekian. Saya berpikir lebih baik bertanya pada supir angkot dari pada bertanya di pinggir jalan kalau saya tahu saya sudah dalam keadaan tersesat. Oh iya, ada pepatah yang mengatakan "Malu bertanya sesat di jalan". Saya ingin menambahkan satu frase lagi, "Malu bertanya sesat di jalan, berani bertanya lidah terlipat".

Untuk makan sehari-hari, saya bukanlah penikmat kuliner dengan keliling restoran. Selain jarak rumah dan restoran yang harus naik angkot (dan ada kemungkinan salah jurusan), saya memang tidak begitu terbiasa dengan menu-menu aneh. Selain dua alasan tersebut, sangat ditopang juga dengan kondisi ekonomi. Jadi lengkap sudah. Warteg, mau tak mau inilah solusinya. Di warteg yang jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah memang rasanya seperti makanan-makanan rumahan. Awal saya makan di warteg tersebut, tentunya saya bingung dengan puluhan lauk-pauk dan puluhan jenis sayuran yang dipajang dalam etalase kaca. Tapi bingung kali ini bukanlah bingung memilih, melainkan bingung menyebutkan nama-nama lauk dan sayur. Dalam kondisi seperti ini, keluarlah secara alamiah saya yang tampil COOL (tampil cool di warteg, oke sip). Tapi syukurlah, beberapa hari sejak saya di sini. Saya akhirnya hafal kalau telur itu disebut dengan telor, Oseng tempe disebut tempe orek, Sayur paria disebut sayur pare. Dan alhamdulillah karena saya tidak suka ditanya-tanya (khawatir salah ucap), Menu sehari-hari saya sampai sebelum bulan ramadhan ini yaitu Nasi satu, telor dadar, Sayur pare. Kadang telor dadar diganti dengan tempe orek.

Sejujurnya, saya tidak ingin mengubah dialek saya untuk mengikuti logat orang-orang di sini. Saya hanya butuh beberapa waktu lagi untuk muncul sebagai orang Sulawesi yang berbaur dengan mereka. Saya datang tidak untuk menaklukkan Jakarta, tapi datang untuk bersahabat dengannya. Saya berharap juga mendapatkan jodoh di sini, karena Leona Agustine juga belum mendapatkan jodohnya.

No comments:

Post a Comment