Sunday 9 February 2014

Menakar film “Perahu Kertas” : Kekhawatiran yang mungkin teraktual

 “Novel ini nantinya akan difilmkan”, demikian tebakan saya hampir sekitar tiga tahun yang lalu setelah saya membaca novel Perahu Kertas karya Dewi’DEE’Lestari. Bahkan lebih dari cukup menebak, saya berspekulasi tentang siapa yang menjadi pemeran Keenan dan Kugy. Dari masing-masing spekulasi yang saya sebutkan tentang aktor dan aktris Indonesia, tapi tak satupun yang cocok menurut saya. Alasannya banyak, mulai dari “tidak tampang bule”, “tidak cerdas”, “tidak imut”, “tidak urakan (mengesampingkan penampilan)” dan sebagainya sampai saya berpikir dalam hati bahwa karakter dalam novel tersebut belum pernah dimiliki oleh artis manapun di dunia.

                Hal di atas membuat saya agak khawatir kalau nantinya film ini hanya akan menambah deretan film Indonesia yang diangkat dari novel dimana penontonnya menganggap film tersebut kurang memuaskan. Saya masih ingat beberapa petisi subjektif via blog para penggemar “Ayat-Ayat Cinta”.

                Beberapa kalimat sederhana di atas mungkin sudah mendeskripsikan betapa novel tersebut punya ruang yang tertata indah di hati terdalam saya. Karena memang sungguh, saya merasa bahwa sebagian diri ZAM telah dijadikan karakter Keenan oleh Dewi Lestari (Tapi di mana Kugy ku’?). Tapi saya tidak  sampai meminta konfirmasi atau bahkan royalty dari DEE hanya karena saya merasa itu adalah hal sepele. Lebih dari itu, bukankah ini keGEERan spesifikasi TERLALUH? Jangan di jawab!

Dengan membawa imajinasi saya dalam membuka halaman demi halaman sebagai orang yang merasa sebagai Keenan, saya tidak sadar bahwa saya telah menghabiskan membaca buku sebanyak 450-an halaman dengan waktu tidak cukup 48 jam (dua hari). Saya bahkan merasa asyik membaca novel tersebut sampai berulang-ulang kali, 4 thumbs up (model komentar editor di sampul-sampul buku).

 
Sumber Gambar: 21cineplex.com
  Sampai tadi sore (8/8/2012), saya membuka portal “Mizan Production” di internet dan melihat sebuah gambar sampul novel itu menyerupai poster film. Sepintas saya merasa sangat senang, tapi sedikit kecewa setelah melihat foto dan nama-nama yang tercantum dalam novel tersebut. Di sana tertera nama Maudy Ayunda dan Adipati Dolken yang setelah saya cari tahu ternyata benar masing-masing yang memerankan karakter Kugy dan Keenan.

                Maudy Ayunda, pemeran karakter Kugy yang segera tayang ini ternyata adalah anak yang berusia 18 tahun (Kelahiran 1994). Yaa, kalau dia mengikuti jenjang pendidikan formal original (istilah saya untuk menyebutkan orang yang tidak pernah tinggal kelas, tidak pernah ikut program akselerasi, tidak pernah menganggur, tidak lambat atau cepat masuk sekolah dasar), maka ia baru saja akan masuk kuliah saat ini. Nah, silakan berimajinasi! Ia memerankan seorang wanita imajinatif yang bekerja di perusahaan jasa advertising yang mampu meng-goalkan sebuah iklan besar hanya karena dimintai pendapat saat ia sedang mengantuk. That’s okey, Maudy seorang aktris. Tapi menurut saya untuk acting sekalipun selalu ada jenjang pendewasaan seseorang di dunia makrokosmik yang bahkan aktor atau aktris pun harus melaluinya (Sayapun belum menamati perjalanan ini). Belum lagi menjadi guru diSakola Alit yang memang harus mengetahui psikologi pendidikan dan psikologi mengajar pada anak usia sekolah dasar (mau ku’, maudy masuk dulu kuliah di YPUP ambil jurusan PGSD).

                Untuk Adipati Dolken, saya tidak mau banyak komentar. Soalnya saya masih normal. Intinya dia juga masih terlalu muda untuk memerankan “Keenan” yang pada akhir cerita harus menjadi direktur di perusahaan ayahnya sendiri.  Hanya Reza Rahadian yang memerankan karakter Remi menurut saya memang sangat pas. Itu karena memang iya beberapa kali memerankan sosok seorang eksekutif muda. Di luar flat world ia pun sering kali menyabet penghargaan. Jadi untuk masalah kualitas Reza Rahadian saya pikir tidak perlu dipertanyakan lagi.

                (IMHO) Hanung Bramantyo sebagai sutradara memang sepertinya sengaja memilih aktris muda sebagai pelakon filmnya agar film ini juga laku dikonsumsi oleh remaja (ABG). Tapi menurut saya Hanung telah menurunkan “kelas” novel ini saat ia membuat filmnya.  Suasana dialogis yang diramu Dee dengan penuh nuansa filosofis harus diringankan agar semua akal mampu menerima pesannya. Tapi namanya juga kapital, tidak ada satupun saat ini yang ideologis  pasang badan untuk melawan.

                Yang terakhir, kenapa perahu kertas harus berlabuh di lebaran? Di kampung ka’.

Rea Timur, 9/8/12


Zulkifli 'ZAM' Andi Mandasini

No comments:

Post a Comment