Sunday 9 February 2014

Kuharap Ada yang Bisa Menilai Kemampuanku dalam Bersandiwara

Aku sadar kalau karakterku sedikit berhijrah ke arah melankolis belakangan ini. Salah-satu tandanya adalah kicauan-kicauanku di twitter yang kusimpulkan agak ke-lebaylebay-an (hal ini tidak berhubungan dengan tanggal 9 September yang merupakan hari istimewa orang nomor 1 negeri ini). Dan setelah kuperhatikan, akupun sedikit merasa risih dengan hal itu. Aku yang sebelumnya tidak srek dengan orang-orang yang meluapkan rasa sakit hatinya lewat status, menertawai diriku sendiri yang mulai mengapresiasi salah-satu gaya annoying dalam media sosial.

Beberapa hari yang lalu, aku sempat menulis status dengan makna kurang lebih bahwa hidup adalah rentetan-rentetan kisah yang mesti dijalani dengan beberapa tempaan takdir (mari kita memandangnya berdasarkan world-view  masing-masing). Kemudian aku berpikir bahwa peran tersulit dalam hidup ini adalah melakoni diri sebagai orang yang enjoy (aku menyebutnya sok- enjoy) di saat hati sedang terasa tersayat-sayat oleh tempaan-tempaan takdir yang ada.
 “Take it easy, Just let it flow”, sebaris potongan lagu yang pernah dipopulerkan oleh grup band wanita Indonesia, She. Merupakan kata-kata agung bagi orang-orang yang mencoba bangkit dihidup  dengan tempaan takdir yang menyulitkan di mana  menurutku hal ini adalah sebuah frase perlawanan terhadap hati.

Kalau hal ini kusandingkan dengan dunia kaum metafisika, maka hal ini merupakan perbuatan dosa. Sepemahamanku untuk kasus diatas pada dunia metafisika, bahasa sederhananya mungkin seperti ini ; Sakit hati, sakit hati saja, toh hal yang membuatmu sakit adalah pelajaran berharga untuk mu. Dan jangan pernah melawan hati, karena hati itu suci! Itu yang kuketahui tentang dunia metafisis (kalau salah kumohon bimbingannya).

Aku lebih sepakat dengan pemahaman metafisis dibanding harus bersandiwara dengan tebahak-bahak atau minimal tersenyum di saat hatipun sedang sakit-sakitnya. Bagiku ini tidak lebih dari perselingkuhan rasa terhadap sakit hati. Bahasa lainnya adalah kita hanya ingin menikmati sakitnya jatuh cinta dan tidak ingin menikmati indahnya sakit hati. Pemahaman yang kedua, hati memang diciptakan olehNya untuk sensitif. Hablum minan nas (hubungan antar manusia) akan terjalin baik jika hati itu sensitif dan peka terhadap hidup dan berkehidupan sosial (Maka sesatlah orang yang berusaha mengeraskan hatinya).

Nikmat memang sakit hati ketika sakitnya dinikmati. Cara menikmatinya sangat sederhana, cukup dengan menutup mata, menjauhkan hal-hal yang berpotensi menjadi bau yang mengganggu, dan usahakan agar bunyi Jangkrik, detak  jarum jam, serta bunyi mesin lemari pendingin tidak terdengar. Langkah berikutnya adalah dengan menarik nafas panjang dengan menggunakan diaghfragma lalu menghembuskannya sambil mengatakan “Huuuuuuuuuuu….NIKMATNYA SAKIT HATI”. Lakukanlah sampai bibir tersenyum lebar tak dibuat-buat.

Jadi intinya, tak ada lagi sandiwara, tak ada peran tertawa saat hati sedang bersedih, tak ada lagi “let it flow”, Tak ada perlawanan terhadap hati, tak ada lagi hati membatu, tak ada lagi bunuh diri. Karena Sakit Hati akan nikmat saat kita menikmatinya. SEKIAN SANDIWARAKU. Hahahaha…(Terbahak-bahak).

Pertanyaan terakhirku sebelum mengakhiri tulisan ini, kuharap kamu (yang membaca) mampu menilai kemampuanku dalam bersandiwara.

Ditulis di Villa Mutiara Asri IX No.39 saat malam pertama seseorang yang pernah memenuhi ruang di hatiku melepas masa jandanya, dan  malam ulang tahun  untuk sesuatu yang telah menghalangi pandanganku pada rambut dan tubuh indah serta betis yang seksi seorang wanita yang sampai sekarang masih memenuhi ruang dihatiku, yang masih terngiang jelas kata “Bajingan” yang diutarakannya kepadaku,  12-13 September 2011.

~ZAM~

No comments:

Post a Comment