Sunday 9 February 2014

Sayang, Izinkan Aku menampar pipimu dengan keras Sekali ini Saja

Saat ini, aku mungkin bodoh untuk tetap menyebutmu dengan “Sayang”, sementara syarat untuk berhenti mencintaimu sudah terpenuhi. Saat ini aku berpikir bahwa logikaku sedang berada pada rana sedang cerdas-cerdasnya, tapi Sayang, hatiku juga sedang merasa dalam keadaan jernih sebening-beningnya. Membedahmu, beberapa tools analisis telah kupraksiskan sejak beberapa minggu lalu, dan baru saja aku menyelesaikan ritual lama yang bernama Shalat Malam untuk menjinakkan hatiku yang berkobar tanpa adanya api yang terpikir oleh akalku.

Sebelumnya hatiku sepakat bahwa cintaku tak mesti harus memiliki yang kubutuhkan darimu, namun akalku berpikir bahwa tak ada orang lain di dunia ini yang mengenalmu lebih dari aku mengenalmu, siapa yang paling nyambung denganmu saat kau bercerita mulai dari sisi paling tidak penting darimu sampai curhat-curhat mengharukan darimu selain aku? siapa yang bisa mencintaimu lebih dari ini, di mana aku sudah merasa dikondisi titik nadir sebagai seorang manusia waras. Lalu siapa yang paling pantas memilikimu selain aku?

Telah lama aku perhatikan, makanan kesukaan kita berbeda. Kau suka fast-food sementara aku suka makanan rumahan, kau suka yang manis-manis, tapi aku suka asin-asin. Kau suka Terang bulan keju, aku suka terang bulan cokelat kacang. Aku suka martabak Holland, kau penikmat martabak Gudang Rasa. Kau suka makan Durian dan aku tidak tahan baunya. Mungkin menurutmu adalah sebuah sensasi nikmat saat memakan anggur kiloan di booth buah supermarket yang jelas-jelas tertulis “Dilarang mencoba!”, aku yang melihatmu kemudian berkata bahwa itu perbuatan dosa (takut bilang haram, siapa tahu eMUI merasa tersaingi, padahal kolomnya lima huruf bukan tiga huruf) tapi kau justru melemparku biji anggur lalu pergi tanpa ber-istighfar. Miris memang!

Kau suka refreshing ke Malino yang dinginnya minta ampun, namun aku suka berjemur di Pantai Bira yang membuatku merasa segar. Aku yang suka lagu dangdut tahun 80-an sementara kau tetap up-date dengan lagu pop barat. Kau suka filem Korea dan aku fans berat film bollywood. Aku yang selalu ingin diperhatikan, tak bisa membuatmu berubah dari cuek menjadi sedikit care yang membuatku sulit mentolerirnya meski bisa.

Kau mendambakan rumah batu dan aku sejak dulu menginginkan rumah panggung. Kau bercita-cita punya dua pasang anak kembar, sedang aku ingin punya 5 anak yang masing-masing punya jarak 3 tahun. namun untungnya kita sama-sama sepakat bahwa untuk anak, biar Tuhan yang menentukannya (itupun karena memang keadaannya yang mengharuskan seperti itu).

Tapi telah lama juga aku paham bahwa hal di atas justru tidak cukup menjadikanku ilfil mencintaimu bahkan justru dengan lantang berkata “Kita memang berbeda dengan banyak hal kecuali dalam cinta”. Tapi Terkadang kau mengulanginya tapi mengganti kata “kecuali” menjadi “termasuk” yang punya makna kontras. Untung saja saya sedikit paham dengan psikologi senyum yang membaca jelas senyummu setiap setelah mengatakan hal di atas bahwa kau sedang bercanda.
Yang ada adalah atas nama cinta, aku selalu ingin belajar membiasakan diri untuk suka dengan gayamu yang tak ku sukai sebelumnya. Aku mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaanku yang tak kau sukai.

Ku akui kita sulit untuk makan sepiring berdua, tapi aku yakin akan lebih nikmat minum kopi susu dengan sekursi berdua dan aku memangkumu. Aku paham betul kalau aku  sering nonton filem India sendiri begitupun dirimu dengan filem korea, tapi tidak menutup kemungkinan aku mulai suka dengan filem korea dan kau mulai suka suka filem india. Kalaupun sulit, masih ada filem Indonesia, Hollywood, dan filem2 di belahan dunia lainnya yang bias ditonton berdua.

Aku tidak akan menyebutkan semua alasan mengapa aku suka  menyebutmu dengan “Sayang” saat ini. Itu karena masih banyak waktu di kesempatan lain dan yang paling penting adalah aku belum tahu persis maksud “sayang” mu saat itu. Ingin kutanyakan tapi khawatir kalau aku kau cap sebagai orang yang tidak sabar menunggu terkondisinya peresmian kepemilikan tulang rusuk di antara kita. Entah kau adalah tulangku yang telah lama kunanti atau milik orang lain yang telah lama tak kuharap. 

Kalau kau melihat tulisan ini kemudian menilaiku psikopat, itu karena kau. Aku berharap kau memintaku untuk menamparmu setelah membaca tulisan ini, meskipun pada akhirnya aku tak akan menamparmu karena kau tak pantas disakiti, kau pantasnya untuk dicintai. Bodoh adalah bodoh ketika aku yang berhenti mencintaimu  hanya karena kebuntuan akalmu menafsir sakit hatiku yang ngeri-ngeri sedap ini.

Maaf terlalu sering memanggilmu dengan sayang, karena menurutku 1000 kali aku menyebutkan kata “Sayang” masih belum sebanding dengan sekali kata “Sayang”mu waktu itu padaku yang disertakan dengan memegang “anu”ku. 

No comments:

Post a Comment