Sunday 9 February 2014

Menerjemah Mentari

Kalau Dhuha adalah interval waktu dalam sehari, maka waktu ini adalah waktu Dhuha yang termegah dari hadap kedua pupil ini. Pantaslah seruan “Penuh Berkah Berlipat Ganda” disandang bulan ini. Dari sebuah garis-garis tak putus oleh gradasi warna berjuta spektrum, sampai siluet pepohonan yang ada di hadapan punggungku, sungguh menjadi sebuah sensasi dan teraktualnya Berkah berlipat ganda itu.
Jingga biru muda serta hitam, sepintas tak berpisah menjadi landscape yang semakin meniscayakanNya, alunan deruh dan kicauan burung tetangga mengalun berbisik “kamu MilikKu” dan lubuk hatiku berkata “ini bisikan Pelukis Agung itu”. Kemudian ku berseru “Subhanallah”. Delapan huruf hija’iyyah itu, kemudian berlipat ganda lagi. Membuatku menjadi semakin bersyukur dengan berucap “Alhamdulillah wa Syuqrillah” bertambah lagi menjadi enam belas huruf yang berlipat ganda. Tak cukup dengan itu, menyebut AsmaNya “Arrahman Arrahim” sebagai dari DzatNya makhlukNya bernama Atib telah mencatatatnya dalam sebuah buku besar perjalananku di bulan ini, sebelum dan sesudahnya. Hanya dengan Bersyukur, MasyaAllah. Fabi’ayyi Aala irobbi kumaa tukazziban : Sungguh, makhluk se-hina inipun Kau beri nikmatMu kepadaNya. Sungguh sangat hinanya aku ketika masih saja kudustakan nikmat Ini. Pada wujud ku yang kotor, dengan hati terkalut, air mata yang terpaksakan, helaan nafas yang congkak, tak pantas bagiku untuk malu dalam berserah.
Aku bersembunyi dalam senyum,meronakan wajah dalam gelap mencoba menerjemah mentari di kesucian bulan ini, teruntuk sang Pelukis Agung itu. 

No comments:

Post a Comment