Sunday 9 February 2014

Membatasi Kata hatimu dalam Leksika

Meski tanpa kata, wajahmu memaksaku menyimpulkan bahwa kau tidak sedang terdiam dan tidak berkata dalam hati saja, lebih dari kesimpulan yang terkatakan ini. Cukuplah itu menjadi hak ku, sedikit represif dan cenderung partisipatif. Aku tak ingin kemurnian dibalik kata-kata diammu luntur dan tereduksi oleh dangkalnya perenungan malam ini.

Meski tanpa kata, jarimu meramu seluruh indera ku bekerja maksimal yang tengah berada dalam medan magnet yang punya daya tarik yang kuat, kuat sampai aku merasa kau ingin lebih dekat, dekat tak berjarak dan jauh tapi bertumpuh. Ingin aku yang mengelus, namun aku masih terbatas, terbatas oleh waktu dan berharap tak terbatas oleh takdir.

Meski tanpa kata,  matamu memaksaku melirik untuk bisa menyimpulkan lebih dari apa yang tadinya kubaca dalam hatimu, berharap kata itu terpancar jelas dari matamu, tepat hanya aku yang mampu membacanya, jelas  tak bias, lurus tak menyimpang, fokus dan terjangkau oleh lirikanku.

Meski tanpa kata, kesunyian tak berbisik dan mencoba menghentikanku dalam membaca dan membatasai kata hatimu yang terlantun bersamanya, bersama sepi yang ingin kunyatakan meski dalam kosong seperti gelas yang tak terisi air tak juga udara.

Tak ingin banyak berkata, membaca  dan membatasi lagi, aku mencintaimu lebih. Lebih dari sekedar saat aku belum membaca, membatasi, sampai berkata meski telah bertahta rindu yang panjang.

Dalam malam Jum'at seorang yang lama tak tegas, ZAM.

No comments:

Post a Comment